saat ini dan hingga 100 tahun kedepan bentuk negara Indonesia yang Anda rasa paling tepat adalah:

Lian Lubiz

ekology; urban design; poem

Tuesday, January 15, 2008

Artikel: Ruang Temporer Kota Bandung

URBAN SPATIO-TEMPORAL PLACES
DALAM KREATIFITAS WARGA KOTA BANDUNG
Oleh: L i a n d a *)

Bandung, secara subjektif, mungkin merupakan salah satu kota yang paling kreatif di Indonesia dan mungkin juga merupakan kota yang paling banyak mengakomodir kegiatan warganya pada ruang-ruang terbuka. Salah satunya adalah ‘pasar kaget’ yang muncul pada hari-hari tertentu. Kehadiran ‘pasar kaget’ secara positif adalah suatu fenomena bentuk kreatifitas warga dalam berdagang, namun dalam pandangan negatif barangkali adalah fenomena yang menggambarkan tingkat urbanisasi di Kota Bandung yang memperlihatkan tingginya angka pencari kerja atau memerlukan lapangan kerja. Sesuatu yang menarik dari ’pasar kaget’ ini adalah kehadirannya yang menempati ruang kota pada kawasan tertentu secara temporer.
Hari Pasar
Kita tentunya mengenal Pasar Senen. Beberapa di antara kita bahkan mengenalnya dengan baik. Pasar Senen saat adalah suatu kawasan bisnis yang terletak di Jakarta Pusat. Pada awalnya pasar ini merupakan pasar tradisional yang dibanguan oleh Justinus Cornelis Vincke Pada Tahun 1730. Dinamakan Pasar Senen karena hanya dibuka pada setiap hari Senin saja. Kita tentunya juga mengenal Pasar Rebo (rabu), Pasar Jumat atau yang paling terkenal adalah Pasar Minggu. Konon pasar-pasar tersebut digelar hanya pada hari-hari tertentu saja, sesuai dengan penaman lokasi pasar-pasar tersebut di kemudian hari.

Di beberapa tempat, pelosok desa maupun kota di seluruh tanah air, mungkin masih banyak dijumpai jenis pasar tradisional yang digelar hanya pada hari-hari tertentu saja dalam sepekan. Lahan yang digunakan dapat berupa ruang terbuka yang bukan diperuntukkan sebagai pasar, maupun lahan yang telah diperuntukkan sebagai pasar. Sebagai contoh, pasar tradisional di Pauh (Jambi), Muara Badak (Kutai Kartanegara-Kalimantan Timur), atau Pasar di Martapura (Kalimantan Selatan). Di beberapa daerah ini, pasar tradisional yang digelar hanya pada hari tertentu saja yaitu hari Jumat misalnya, tidak dengan sendirinya dinamakan Pasar Jumat. Masyarakat setempat lebih mengenalnya sebagai hari pasar atau di beberapa daerah Sumatera disebut sebagai Hari Pekan.

Keberadaan pasar-pasar tradisional yang hanya digelar pada satu hari tertentu saja dalam seminggu disebabkan oleh keterbatasan mobilitas para pedagang (mengingat jauhnya jarak masing-masing tempat untuk dijangkau), terbatasnya kebutuhan masyarakat setempat pada beberapa komoditas, serta terbatasnya daya beli tinggi masyarakat setempat. Terkadang di beberapa pelosok desa, kelurahan hingga tingkat kecamatan, keberadaan pasar tradisional ini merupakan satu-satunya alternatif pasar yang tersedia.

Fenomena yang terjadi di Kota Bandung mungkin sedikit berbeda. Perbedaannya adalah pada tujuan dari pedagang dan pembeli dan pada jenis komoditas barang dagangan yang dijajakan. Selain itu, perbedaan yang juga sangat menonjol adalah tempat atau ruang yang digunakan. ‘pasar kaget’ yang muncul Minggu pagi di Kota Bandung menempati ruang tertentu kota secara temporer. Dalam istilah urban design, kehadiran ‘pasar kaget’ di Kota Bandung yang menempati suatu ruang kota secara temporer, dikenal sebagai urban spatio-temporal places (USTP).
Keberadaan pasar-pasar kaget di setiap hari Minggu pagi muncul bukan karena di Kota Bandung kekurangan pasar tradisional atau pasar modern, namun nampaknya di beberapa tempat, hari minggu di Kota Bandung saat ini bisa dikatakan merupakan hari pasar rekreasi bagi sebagian warga kotanya. Pada beberapa lokasi tertentu di kawasan Kota Bandung mulai dari waktu subuh hingga menjelang tengah hari berubah menjadi ‘pasar kaget’ dengan berbagai jenis komoditas dagangan. Kesempatan berbelanja seminggu sekali di pasar-pasar kaget ini lebih banyak bersifat ’rekreasi’ dibandingkan berbelanja kebutuhan primer (lebih dari 70 % responden di 3 lokasi ”pasar kaget ” di Kota Bandung berpendapat demikian)

Kegiatan dalam lokasi urban spatio-temporal places sebenarnya bukan hanya berupa kegiatan seperti ‘pasar kaget’ seperti yang ada di Kota Bandung. Konotasi pengertian lebih ditujukan kepada pemanfaatan suatu ruang kota secara temporer untuk berbagai macam kegiatan. Pada waktu-waktu tertentu, suatu ruang kota dimanfaatkan untuk suatu kegiatan, namun fungsi utama ruang tersebut tidak berubah atau beralih fungsi. Pemanfaatan ruang tersebut dapat terjadi secara formal atau informal. Contoh lain selain ‘pasar kaget’ dari dari kegiatan di dalam urban spatio-temporal places adalah digunakannya Jalan Dago (Ir. H.Djuanda) pada tiap malam Minggu sebagai menjadi arena ‘mejeng’ anak muda dengan berbagai macam kegiatanya atau dimanfaatkannya Jalan Ganesha di setiap hari libur sebagai jalur wisata berkuda.

Lapangan Gasibu di Depan Gedung Sate (Kantor Gubernur JABAR) barangkali saat ini adalah ‘pasar kaget’ terbesar yang ada di Kota Bandung pada hari minggu. Beberapa lokasi di Kota Bandung yang juga merupakan ’pasar kaget’ antara lain adalah: ruas jalan utama Perumahan Arcamanik, yang dikenal sebagai ”lapangan perluasan”, digunakan sebagai lapak PKL dan jajan pasar; kemudian taman dan ruas jalan bagian depan dari Perumahan Metro-Margahayu Raya (lapak PKL dan jajan pasar); halaman depan parkir Barat Bandung Super Mal (bursa mobil bekas); halaman parkir Makro (bursa mobil bekas); dan kawasan Ciumbeuleuit (jajan pasar, sayur mayur dan hasil bumi yang lebih menyerupai pasar tradisional). Sementara itu, ada juga ’pasar kaget’ yang hanya hadir pada tanggal-tanggal tertentu saja tiap bulannya yaitu: ’pasar keget’ di depan Taman Lansia kawasan Gedung Sate (hadir pada tanggal 1-2 tiap bulannya bertepatan dengan tanggal gajian PNS); dan ’pasar keget di ujung Timur ruas Jalan Naripan (hadir pada tanggal 7-10 tiap bulan bertepatan dengan jadwal pengambilan pensiun PNS).
Pasar tradisional di Pauh-Jambi. Hari Jumat merupakan hari pasar;
‘Pasar kaget’ pada ruang statis di daerah Metro-Bandung pada tiap Minggu pagi.
Cara menjajakan dagangan mirip dengan pasar tradisional di Pauh-Jambi.
Apa penyebab terbentuknya urban spatio-temporal places (USTP)? Tidak ada jawaban yang tepat untuk pertanyaan tersebut karena penyebab timbulnya USTP sangat terkait dengan kondisi sosial, ekonomi, budaya dan kebijakan pemerintah di suatu kota. USTP ini pun bisa muncul dimana saja, baik pada ruang statis (seperti taman, lapangan, dan alun-alun) maupun ruang dinamis perkotaan (seperti ruas jalan atau trotoar jalan).

Pada awalnya, urban spatio-temporal places ini barangkali tidak bermakna apa-apa bagi warga kota. Tempat tersebut hanya sebuah space yang dibatasi oleh massa bangunan (solid) sebagai sebuah void (ruang terbuka/open space). Void ini bisa berupa ruang statis atau dinamis. Seiring dengan berjalannya waktu dan kejadian-kejaian di dalamnya, space tersebut kemudian menjadi mempunyai arti/makna. Pada saat itulah space tersebut menjadi place (tempat) dan dengan kegiatan yang bersifat temporer maka jadilah apa yang dinamakan urban spatio-temporal places.

Budaya Kreatif
Fenomena menarik dari terbentuknya USTP di Kota Bandung dengan ‘pasar kaget’-nya, adalah kehadiran budaya ekonomi tradisional (pasar tradisional) berupa hari pasar di tengah maraknya budaya konsumtif baru : ”belanja di factory outlet” atau budaya konsumtif kota metropolitan lainnya. Pakar budaya atau sosiolog kota barangkali sepakat kalau dikatakan fenomena ini adalah salah satu budaya kreatif masyarakat Kota Bandung dalam kegiatan ekonomi. Bentuk kreatifitasnya adalah menghadirkan hari pasar yang membawa kita pada suasana hari pasar dalam budaya ekonomi tradisional. Suatu bentuk kreatifitas disamping kreatifitas lain yang juga dimiliki warga Kota Bandung dalam membangun budaya factory outlet, penjualan barang bekas (babe), bursa mobil bekas dan inovasi dalam industri rumah tangga berbagai penganan seperti pisang molen, batagor atau brownies kukus yang mulai meraksasa.

Menarik untuk diamati adalah respons apa yang diberikan oleh Pemerintah Kota dalam mengapresiasi fenomena ini. Apakah budaya kreatif warga Kota Bandung bisa dieksplor dan mengalami pengayaan budaya lebih intens namun memberikan kontribusi yang positif pada peningkatan pendapatan masyarakat, bukan hanya menarik retribusi atau pajak dari kegiatan kreatif warganya.

*)Lianda, Direktur RES Institute, Bandung
Artikel telah dipublikasikan KOMPAS 19 Maret 2006

Tuesday, April 18, 2006

issue-fakta

AGAR MASYARAKAT TIDAK (SALAH) MENDEMO PENGELOLA TWA TANGKUBAN PERAHU

Oleh: L I A N D A dan HUSNI HUSNAYAN

Sebenarnya, seberapa besar hak masyarakat (adat) dapat menolak kebijakan pemberian ijin pengelolaan suatu Taman Wisata Alam (TWA) seperti Tangkubanperahu? Seberapa besar pula kewenangan Departemen Kehutanan dalam memberikan hak pengelolaan TWA kepada pihak swasata? Di dalam perundangan, ketetuan hak dan kewengan tersebut sebenarnya telah diatur, namun pada praktiknya bisa terjadi kerancauan prosedur dan persepsi tentang butir-butir perundangan tersebut. Tulisan ini mencoba memaparkan kajian perundangan (legal review) tentang pengelolaan suatu kawasan wisata, seperti TWA, yang di dalamnya juga terdapat aspek pelestarian alam (konservasi). Tujuannya agar dapat diidentifikasi persoalan secara baik, sehingga diketahui bagaimana sebenarnya pengelolaan yang harus dilakukan terutama menyangkut porsi hak dan kewajiban serta proseduar yang harus ditempuh.

Terlebih dahulu kami kutip pernyataan Juru Bicara Masyarakat Adat Tangkubanperahu, Dadang Hermawan, yang dikitip salah satu harian umum yang terbit di Jawa Barat (4/2/09). ”Turunnya izin pengelolaan wisata alam dari pemerintah pusat semestinya melalui rekomendasi gubernur (SK MENHUT No. 446/1996). Namun, rekomendasi gubernur baru diajukan setelah izin dari pusat turun.” Unjuk rasa masyarakat adat yang dilakukan pada tgl 3/2/09 adalah mempertanyatakan sikap sikap Gubernur Jawa Barat berkenaan dengan dikeluarkannya izin pengelolaan TWA Tangkubanperahu kepada pihak tertentu (swasta) oleh meteri kehutanan. Dinas Kehutanan Jawa Barat bahkan menyebutkan perizinan yang dikeluarkan oleh MNHUT tersebut cacat hukum. Ditambahkan pula, pihak PT GRPP (pihak swasata yang mendapatkan izin pengelolaan TWA Tangubanperahu) belum menyampaikan proposal usulan proyek ke PEMPROV JABAR dan tidak menyampaikan kelengkapan bonafiditas perusahan.

Dalam kasus ini, persoalan utama yang menyebabkan terjadinya unjuk rasa masyarakat adalah kejelasan prosedur dalam pemberian ijin pengelolaan TWA Tangkubanperahu. Unjuk rasa yang dilakukan masyarakat adat lebih tepat kalau ditanggapi bahwa mereka berkeinginan juga kalau gubernur mereka juga mempertanyakan hal tersebut dan menyampaikan kepada mereka hal yang sebenarnnya terjadi. Akan tetapi, nampaknya Dinas Kehutanan Jawa Barat bisa memperparah keadaan dengan pernyataannya bahwa perizinan yang dikeluarkan MENHUT cacat hukum.Meskipun hal itu terjadi sepatutnya pernyataan tersebut tidak dikemukakan kepada publik karena persoalan kemudian bisa menjalar menjadi persoalan antar institusi pemerintah bukan menyelesaikan persoalan dengan masyarakat adat.

Dalam hal tata cara pemberian Izin pengusahaan pariwisata kepada pihak swasata, dalam Bab III Keputusan Menteri Kehutanan No. 466/Kpts-II/1996 Pasal 6 menyebutkan: ”Menteri berdasarkan saran dan pertimbangan yang dimaksud dalam Pasal 5, menyatakan menerima atau menolak permohonan izin pengusahaan pariwisata alam tersebut selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak diterimanya saran dan pertimbangan dari Ketua Tim Pertimbangan”. Tim Pertimbangan itu sendiri diketuai oleh oleh Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan. Adapun jangka waktu total keseluruhan untuk keluarnya izin tersebut adalah maksimal 60 (enam puluh) hari kerja setelah berkas permohonan yang telah dilengkapi seluruh persyaratan di terima, dengan rincian 30 (tiga puluh) hari kerja untuk memberikan saran dan pertimbangan dari Tim Pertimbangan dan 30 (tiga puluh) hari untuk keluarnya persetujuan pengusahaan pariwisata alam oleh Menteri Kehutanan. Pada proses lebih lanjut, Ketua Tim Pertimbangan memberitahukan kepada pemohon untuk menyusun Rencana Karya Pengusahaan Pariwisata Alam yang dilengkapi dengan tapak (site plan) dan Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam


Kewenangan Pengelolaan dan Pemberian Izin Pengelolaan

Pertanyaannya adalah dimana posisi rekomendasi gubernur? Terlebih dahulu kita lihat status hukum Taman Wisata Alam (TWA) Tangkubanperahu dan kewenangan pengelolaan dari Cagar Alam dan Taman Wisata Alam. TWA Tangkubanperahu ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 528/Kpts/Um/9/1979 tanggal 1 Januari 1979 di bawah pengelolaan BALAI BESAR KSDA Jabar. Memiliki luas 1.290 hektar untuk Cagar Alam dan 370 hektar untuk taman wisata alam.

Selanjutnya, yang perlu diketahui adalah dasar kewenangan dalam penentuan zona taman wisata alam dan kewenangan pengelolaan taman wisata alam. Dasar kewenangan dalam penentuan zona taman wisata dan kewenangan pengelolaannya berada pada instansi atau pihak yang mana? Apakah pemerintah pusat, atau daerah, pihak swasta, atau masyarakat? Bagaimana kewenangan pemberian izin pengelolaan taman wisata alam? Kemudian perlu diketahui juga seberapa besar peran masyarakat dalam penentuan zona dan pengelolaan taman wisata alam?

Pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota telah diatur secara konkrit mengenai kewenangan dalam penentuan zona taman wisata alam. Dalam lampiran pembagian urusan pemerintahan bagian kehutanan, dalam sub bidang Penataan Blok (zonasi) cagar alam, suaka margasatwa, Taman Nasional, Taman Wisata alam, dan taman buru, bahwa kewenanganan penataan blok berada pada pemerintah pusat dengan bentuk kewenangan berupa penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pelaksanaan penataan blok (zonasi), cagar alam, suaka marga satwa, Taman Nasional, Taman Wisata alam, dan taman buru. Pemerintah daerah, dalam hal ini provinsi dan kabupaten/kota tidak memiliki kewenangan apapun dalam bidang penentuan zona taman wisata alam.

Dalam lampiran yang sama menyebutkan bahwa rencana pengelolaan jangka panjang, jangka menengah dan jangka pendek melibatkan semua tingkat pemerintahan. Kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah pusat dalam rencana pengelolaan adalah penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan penyusunan serta pengesahan rencana pengelolaan jangka panjang, jangka menengah dan jangka pendek untuk cagar alam, suaka marga satwa, Taman Nasional, Taman Wisata alam, dan taman buru. Untuk pemerintah Provinsi dan pemerintah kabupaten/kota kewenangannya adalah pertimbangan teknis, pengesahan rencana pengelolaan jangka panjang, jangka menengah, dan jangka pendek untuk cagar alam, suaka marga satwa, Taman Nasional, Taman Wisata alam, dan taman buru.

Dari ketentuan tersebut dapat dipahami bahwa kewenangan terhadap taman wisata alam secara luas berada di tangan pemerintah (pusat), sedangkan daerah hanya berperan dalam bidang teknis dan pertimbangan. Dalam hal perizinan pemerintah pusat juga memiliki kewenangan yang sangat luas. Berbicara mengenai aspek perizinan tentu berhubungan dengan pihak ketiga, dalam hal ini pihak ketiga pengelola kawasan taman wisata alam. Kewenangan atas perizinan secara luas berada ditangan pemerintah yang diwakili oleh menteri kehutanan sebagai pimpinan departemen kehutanan.

Ketentuan yang mengatur secara langsung mengenai izin pengelolaan taman wisata alam adalah Peraturan Pemerintah Nomor 18 tahun 1994 tentang pengusahaan pariwisata alam di zona pemanfaatan Taman nasional, Taman hutan raya, dan taman wisata alam. Ketentuan tersebut mengatakan bahwa menteri yang bertanggung jawab adalam menteri di bidang kehutanan, yaitu menteri kehutanan. Selanjutnya dikatakan bahwa izin pengusahaan pariwisata alam diberikan oleh menteri kehutanan setelah mendapat pertimbangan dari menteri bidang kepariwisataan, dan gubernur kepala daerah yang bersangkutan. Peran dari pemerintah daerah provinsi hanya sebatas memberikan pertimbangan dan rekomendasi kepada pemerintah atau dalam hal ini adalah menteri kehutanan.

Mekanisme perizinan melalui menteri kehutanan memberikan kesempatan kepada pihak ketiga untuk melakukan pengelolaan terhadap taman wisata alam, konsekwensi dari mekanisme perizinan ini adalah minimnya peran dari pemerintah daerah dalam hal pengelolaan terhadap taman wisata alam termasuk dalam pengelolaan oleh pihak ketiga. Ketentuan PP nomor 18 ini mengatur mengenai pengelolaan oleh pihak ketiga yang menyebutkan bahwa penyelenggara pengusahaan pariwisata alam dapat dilakukan oleh Koperasi, Badan Usaha Milik Negara, Perusahaan swasta dan perorangan.


Peran BKSDA

Mekanisme perizinan melalui menteri kehutanan yang memberikan kesempatan kepada pihak ketiga untuk melakukan pengelolaan terhadap taman wisata alam, memiliki konsekwensi berupa minimnya peran dari pemerintah daerah dalam hal pengelolaan terhadap taman wisata alam termasuk dalam pengelolaan oleh pihak ketiga. Kembali kepada istilah kawasan pelestarian hutan, maka terkait dengan taman wisata alam yang dapat dikatakan “menjual” kawasan pelestarian hutan atau dengan kata lain kawasan konservasi sumber daya alam sebagai objek pariwisata. Menteri kehutanan melalui Surat Menteri Kehutanan Nomor 6187 Tahun 2002 menegaskan bahwa Balai Konservasi Sumber Daya alam (BKSDA) merupakan pelaksana teknis dari konservasi sumber daya alam dan lingkungan.

Sebagai pengelola kawasan BKSDA memiliki kewenangan yang sangat besar dan menentukan terhadap keberhasilan dari pengelolaan taman wisata alam. Mudahnya dapat dipahami bahwa jika pengelolaan BKSDA terhadap kawasan kurang baik sehingga menyebabkan sumber daya alam menjadi rusak, maka sektor pariwisata akan hancur, karena objek yang ditawarkan menjadi hilang. Disini barangkali perlu diatur bagaimana mekanisme control atau pengawasan dari masyarakat terhadap pengelolaan kawasan pelestarian dan kegiatan pengelolaa (Koperasi, Badan Usaha Milik Negara, Perusahaan swasta dan perorangan.) agar tidak terjadi salah mendemo dalam pengelolaan taman wisata alam. Satu hal yang patut pula diperhatikan adalah bahwa pihak pengelola tidak diperkenankan mengeruk keuntungan hanya untuk kepentingan komersial saja. Keuntungan dalam pengelolaan suatu taman wisata alam, seperti TWA tangkubanperahu, harus dikembalikan sepenuhnya untuk pengelolaan dan pelestarian kawasan tersebut. Begitulah sepatutnya.

L I A N D A dan Husni Husnayan

Komunitas RUANG PUBLIK. NGO for Independent Research and Community Development


urban design & architecture

Gardu Mural, Elemen Eestetik Kota Bandung,
foto: lian lubiz, 2007. lokasi: Taman Pramuka, Jalan Riau-Bandung.

Monday, March 06, 2006

up2date photos


berlayar.....lianlubiz

Artikel

GARDU MURAL, ELEMEN ESTETIK KOTA BANDUNG

Oleh: L I A N D A


Dari semua mural yang terdapat di Kota Bandung, ada suatu fenomena menarik yang barangkali kurang terperhatikan yaitu mural yang terdapat pada bangunan gardu listrik PLN. Mural yang terdapat pada kempat sisi dinding setiap gardu listrik ini seperti “menghilangkan” gardu-gardu listrik di Kota Bandung dan menggantikanya menjadi elemen estetik (grafis) kota. Suatu fenomena unik dan menarik dalam salah satu penyajian karya seni di area publik yang nampaknya menawarkan solusi desain dalam melawan serbuan tempelan poster reklame pada dinding-dinding bangunan dan aktifitas vandalism/graffiti di Kota Bandung.

Selain mural yang terdapat pada dinding-dinding bangunan gardu listrik, di Kota Bandung sebenarnya banyak terdapat mural. baik yang dibuat atas inisiatif pribadi (seniman), kelompok masyarakat atau pemerintah kota sendiri. Mural yang digagas atas inisiatif kelompok masyarakat yang cukup bagus adalah mural yang terdapat di Jalam Maleer II. Mural yang berada pada salah satu dinding bangunan di jalan tersebut dibuat bergaya natural dengan tem gambar berupa aliran sungai dan air terjun. Mural yang digarap sangat serius oleh pemerintah kota adalah mural terpanjang di Kota Bandung yang terdapat di salah satu dinding atau tebing Jalan Siliwangi, di sekitar Gedung SABUGA ITB. Mural pada dinding tebing ini (panjang kira-kira 500 meter dengan ketinggian hampir tiga meter) telah dua kali mengalami perubahan gambar namun masih dalam tema yang relatif sama.

Dari semua mural yang ada, mural pada gardu listrik (Travo 400 KVA dan 600 KVA) adalah mural digarap serius disertai pemeliharaan yang cukup baik oleh suatu instansi (PLN UPJ Prima Priangan). Suatu inisiatif yang patut diacungi jempol karena secara umum kebanyakan mural yang terdapat di Kota Bandung tidak terpelihara dan mulai mengalami kerusakan karena dipenuhi tempelan poster reklame, pengumuman dan gambar serta aktifitas vandalism dan graffiti liar kaum muda kotanya.

Seni Lukis dan Grafis Pada Bidang Permanen

Mural adalah seni lukis yang digarap pada dinding, plafond (atap) atau bidang besar lainnya yang bersifat permanen. Mural sebenarnya telah dikenal orang sejak zaman prasejarah. Salah satunya yang cukup terkenal adalah lukisan di dinding Gua Lascaux (Cave of Lascaux) di Perancis Selatan, namun mural baru dikenal setelah dipopulerkan oleh seniman mural Meksiko (mexican muralista art movement) seperti Diego Rivera, David Siqueiros atau Jose Orozco. Mereka mengembangkan berbagai teknik dalam pembuatan mural. Salah satu tekniknya mungkin yang paling populer adalah fresco yaitu menggunakan cat larut air dengan campuran jeruk (water soluble paint with a damp lime wash). Dengan teknik ini, pengerjaan cepat yang diterapkan pada permukaan datar dan besar akan menghasilkan warna yang cerah saat mengering.

Pada saat ini, teknik pembuatan mural dilakukan dengan berbagai cara. Mulai dari yang sangat sederhana seperti cat minyak atau cat tembok hingga menggunakan paintbrush. Gaya lukisannya pun bervariasi dan berkembang sedemikian rupa mulai dari abstrak hingga Trampe L’Oeil (Prancis) yaitu teknik mengalabui mata (tipu mata) atau trick the eye. Di beberapa negara teknik pembuatan mural pun terus berkembang. Dewasa ini pembuatan mural sudah menerapkan teknologi fotografi digital dan pencetakan foto yang mentransfer lukisan atau foto ke dalam bahan poster lalu ditempelkan ke dinding atau media permanen lainnya. Perkembangan pembuatan mural saat ini bisa dikatakan mengarah (trend) kepada seni grafis dengan teknlogi digital modern.

Elemen Estetik Kota dan Solusi Desain

Salah satu kelebihan Mural adalah bisa menjadi alat yang cukup efektif untuk menggalang partisipasi masyarakat dalam pencapaian tujuan politik. Bahkan tidak jarang mural dibuat untuk memprotes atau mengkritisi suatu kebijakan pemerintah seperti yang dilakukan oleh para seniman mural di Jakarta beberapa waktu yang lalu pada saat mengkritisi RUAPP (Rancangan Undang-undang Anti Pornoaksi dan Pornografi), mengekspose persoalan-persoalan sosial, membangkitkan kebencian atau mengadvokasi msyarakat untuk menentang pemerintah. Oleh rezim-rezim yang totaliter, mural seringkali berfungsi sebagai media kontrol dan propaganda meskipun beberapa diantaranya dibuat sangat artistik.

Terlepas dari tujuan politik dan sosial dalam pembuatan mural, mural pada gardu-gardu listrik di Kota Bandung adalah fenomena baru dalam pembentukan elemen estetik kota atau penyajian karya seni di area publik dan upaya untuk melawan serbuan tempelan poster reklame pada dinding-dinding bangunan dan vandalism/graffiti. Mural pada gardu-gardu listrik di kota ini mampu mengubah bentuk masif dan kaku dari bangunan gardu listrik menjadi elemen fisik kota yang sedap dipandang.

Dalam hal teknik pembuatan dan bahan yang digunakan, mural pada gardu-gardu listrik (juga mural lainnya yang terdapat di Kota Bandung) memang masih tergolong sederhana, namun gambar yang ditampilkan cukup artistik. Tema gambar yang diambil umumnya bergaya dekoratif, natural dan abstrak dengan pilihan warna-warna dasar. Pada seluruh gardu gardu listrik yang ada di Kota Bandung, memang belum terlihat satu pun mural yang dibuat menggunakan teknik Trampe L’Oeil yang menampilkan gambar dengan tipu-mata yang atraktif, seperti lukisan tiga dimensi atau bentuk-bentuk lain yang terlihat seperti nyata (realistik).

Gardu mural ini menarik perhatian karena umumnya terletak di tengah taman dan di tepi jalan yang banyak dilalui kendaraan, sehingga mudah dilihat dan dikenali pengendara mobil, motor dan pejalan kaki yang kebetulan lewat. Beberapa diantaranya tampil secara kontras dan ’eye catching’ sebagai elemen fisik yang estetik di tengah taman, seperti pada gardu mural yang berada di Taman Pramuka yang bergaya dekoratif puzle dan gedung pencakar langit, gardu di Taman Ciujung Jalan Supratman dengan mural bergaya lukisan abstrak kupu-kupu dengan dominansi warna hijau atau gardu dengan mural bergaya lukisan dekoratif bunga berwarna merah, kuning, jingga terang yang cerah yang berada di tengah taman pada persimpangan Jalan Sukajadi.

Mengkatagorikan bangunan-bangunan gardu ”mural” listrik di Kota Bandung sebagai elemen estetik kota memang perlu pengkajian dan kesepakatan di kalangan arsitek dan perancang kota (urban designer). Jika mengacu pada terminologi sederhana bahwa pengertian elemen estetik adalah bentuk-bentuk yang memiliki nilai seni dan keindahan (artistik), maka gardu listrik dengan mural pada keempat sisi dindingnya sudah bisa dikatagorikan sebagai elemen estetik kota. Sama halnya seperti patung, pot-pot bunga pada trotoar, lampu-lampu hias di jalan, dan bentuk-bentuk monumental lainnya yang dihadirkan untuk menghias kota atau menciptakan pengalaman ruang yang artistik di dalam kota. Saat ini, seluruh gardu listrik di Kota Bandung telah dihiasi mural.

Selain sebagai berfungsi sebagai elemen estetik kota, penyajian mural nampaknya cukup efektif melawan vandalism. Dari pengamatan gardu-gardu listrik yang tersebar di Kota Bandung, hanya beberapa saja yang masih terlihat kumuh dan kotor disebabkan aksi penempelan poster reklame dan aksi corat-coret liar. Dari pengamatan secara acak terhadap sepuluh gardu mural, hanya dua gardu saja yang terlihat masih mengalami penempelan poster reklame dan aksi corat-coret yaitu gardu mural di Taman Ciujung dan gardu mural yang terdapat di perempatan Jalan Riau (LL Martadinata)-Jalam Ahmad Yani. Sepertinya ada rasa segan atau ”tidak tega” untuk merusak atau mengotori gardu yang telah dihiasi mural ini dengan tempelan poster reklame dan vandalism. Hal yang sama juga terlihat pada mural yang terdapat di tebing di Jalan Siliwangi Bandung, sepanjang dinding pembatas jalan ini bersih dari tempelan poster dan aksi corat-coret. Dengan menyadur rumusan Rappoport (1977) tentang pandangan environmental determinism yaitu pandangan yang mengganggap bahwa lingkungan fisik yang dirancang dengan baik dapat mengubah perilaku, mural dapat memberikan solusi desain yang rasional untuk mengatasi persoalan non desain seperti mengurangi keinginan menempel segala macam poster reklame gambar/pengumuman yang bukan pada tempatnya atau mengurangi perilaku merusak yang sudah tak terkendali seperti vandalism.

L I A N D A,

Direktur RES Institute/Ekolog-Urban Designer

Artikel KOMPAS : 2 September 2007

poem

Di Cipularang,
Sinar rembulan berebut cahaya dengan lampu mercury
yang seolah berterbangan bagai kunang-kunang raksasa
Kabut dan gerimis menyerupai tirai kelambu kamar pengantin
Memendar menyusup di antara bukit-bukit
Menghijau tua dan sendu
Nila ning, 21 Juni 2005