saat ini dan hingga 100 tahun kedepan bentuk negara Indonesia yang Anda rasa paling tepat adalah:

ekology; urban design; poem

Tuesday, April 18, 2006

issue-fakta

AGAR MASYARAKAT TIDAK (SALAH) MENDEMO PENGELOLA TWA TANGKUBAN PERAHU

Oleh: L I A N D A dan HUSNI HUSNAYAN

Sebenarnya, seberapa besar hak masyarakat (adat) dapat menolak kebijakan pemberian ijin pengelolaan suatu Taman Wisata Alam (TWA) seperti Tangkubanperahu? Seberapa besar pula kewenangan Departemen Kehutanan dalam memberikan hak pengelolaan TWA kepada pihak swasata? Di dalam perundangan, ketetuan hak dan kewengan tersebut sebenarnya telah diatur, namun pada praktiknya bisa terjadi kerancauan prosedur dan persepsi tentang butir-butir perundangan tersebut. Tulisan ini mencoba memaparkan kajian perundangan (legal review) tentang pengelolaan suatu kawasan wisata, seperti TWA, yang di dalamnya juga terdapat aspek pelestarian alam (konservasi). Tujuannya agar dapat diidentifikasi persoalan secara baik, sehingga diketahui bagaimana sebenarnya pengelolaan yang harus dilakukan terutama menyangkut porsi hak dan kewajiban serta proseduar yang harus ditempuh.

Terlebih dahulu kami kutip pernyataan Juru Bicara Masyarakat Adat Tangkubanperahu, Dadang Hermawan, yang dikitip salah satu harian umum yang terbit di Jawa Barat (4/2/09). ”Turunnya izin pengelolaan wisata alam dari pemerintah pusat semestinya melalui rekomendasi gubernur (SK MENHUT No. 446/1996). Namun, rekomendasi gubernur baru diajukan setelah izin dari pusat turun.” Unjuk rasa masyarakat adat yang dilakukan pada tgl 3/2/09 adalah mempertanyatakan sikap sikap Gubernur Jawa Barat berkenaan dengan dikeluarkannya izin pengelolaan TWA Tangkubanperahu kepada pihak tertentu (swasta) oleh meteri kehutanan. Dinas Kehutanan Jawa Barat bahkan menyebutkan perizinan yang dikeluarkan oleh MNHUT tersebut cacat hukum. Ditambahkan pula, pihak PT GRPP (pihak swasata yang mendapatkan izin pengelolaan TWA Tangubanperahu) belum menyampaikan proposal usulan proyek ke PEMPROV JABAR dan tidak menyampaikan kelengkapan bonafiditas perusahan.

Dalam kasus ini, persoalan utama yang menyebabkan terjadinya unjuk rasa masyarakat adalah kejelasan prosedur dalam pemberian ijin pengelolaan TWA Tangkubanperahu. Unjuk rasa yang dilakukan masyarakat adat lebih tepat kalau ditanggapi bahwa mereka berkeinginan juga kalau gubernur mereka juga mempertanyakan hal tersebut dan menyampaikan kepada mereka hal yang sebenarnnya terjadi. Akan tetapi, nampaknya Dinas Kehutanan Jawa Barat bisa memperparah keadaan dengan pernyataannya bahwa perizinan yang dikeluarkan MENHUT cacat hukum.Meskipun hal itu terjadi sepatutnya pernyataan tersebut tidak dikemukakan kepada publik karena persoalan kemudian bisa menjalar menjadi persoalan antar institusi pemerintah bukan menyelesaikan persoalan dengan masyarakat adat.

Dalam hal tata cara pemberian Izin pengusahaan pariwisata kepada pihak swasata, dalam Bab III Keputusan Menteri Kehutanan No. 466/Kpts-II/1996 Pasal 6 menyebutkan: ”Menteri berdasarkan saran dan pertimbangan yang dimaksud dalam Pasal 5, menyatakan menerima atau menolak permohonan izin pengusahaan pariwisata alam tersebut selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak diterimanya saran dan pertimbangan dari Ketua Tim Pertimbangan”. Tim Pertimbangan itu sendiri diketuai oleh oleh Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan. Adapun jangka waktu total keseluruhan untuk keluarnya izin tersebut adalah maksimal 60 (enam puluh) hari kerja setelah berkas permohonan yang telah dilengkapi seluruh persyaratan di terima, dengan rincian 30 (tiga puluh) hari kerja untuk memberikan saran dan pertimbangan dari Tim Pertimbangan dan 30 (tiga puluh) hari untuk keluarnya persetujuan pengusahaan pariwisata alam oleh Menteri Kehutanan. Pada proses lebih lanjut, Ketua Tim Pertimbangan memberitahukan kepada pemohon untuk menyusun Rencana Karya Pengusahaan Pariwisata Alam yang dilengkapi dengan tapak (site plan) dan Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam


Kewenangan Pengelolaan dan Pemberian Izin Pengelolaan

Pertanyaannya adalah dimana posisi rekomendasi gubernur? Terlebih dahulu kita lihat status hukum Taman Wisata Alam (TWA) Tangkubanperahu dan kewenangan pengelolaan dari Cagar Alam dan Taman Wisata Alam. TWA Tangkubanperahu ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 528/Kpts/Um/9/1979 tanggal 1 Januari 1979 di bawah pengelolaan BALAI BESAR KSDA Jabar. Memiliki luas 1.290 hektar untuk Cagar Alam dan 370 hektar untuk taman wisata alam.

Selanjutnya, yang perlu diketahui adalah dasar kewenangan dalam penentuan zona taman wisata alam dan kewenangan pengelolaan taman wisata alam. Dasar kewenangan dalam penentuan zona taman wisata dan kewenangan pengelolaannya berada pada instansi atau pihak yang mana? Apakah pemerintah pusat, atau daerah, pihak swasta, atau masyarakat? Bagaimana kewenangan pemberian izin pengelolaan taman wisata alam? Kemudian perlu diketahui juga seberapa besar peran masyarakat dalam penentuan zona dan pengelolaan taman wisata alam?

Pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota telah diatur secara konkrit mengenai kewenangan dalam penentuan zona taman wisata alam. Dalam lampiran pembagian urusan pemerintahan bagian kehutanan, dalam sub bidang Penataan Blok (zonasi) cagar alam, suaka margasatwa, Taman Nasional, Taman Wisata alam, dan taman buru, bahwa kewenanganan penataan blok berada pada pemerintah pusat dengan bentuk kewenangan berupa penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pelaksanaan penataan blok (zonasi), cagar alam, suaka marga satwa, Taman Nasional, Taman Wisata alam, dan taman buru. Pemerintah daerah, dalam hal ini provinsi dan kabupaten/kota tidak memiliki kewenangan apapun dalam bidang penentuan zona taman wisata alam.

Dalam lampiran yang sama menyebutkan bahwa rencana pengelolaan jangka panjang, jangka menengah dan jangka pendek melibatkan semua tingkat pemerintahan. Kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah pusat dalam rencana pengelolaan adalah penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan penyusunan serta pengesahan rencana pengelolaan jangka panjang, jangka menengah dan jangka pendek untuk cagar alam, suaka marga satwa, Taman Nasional, Taman Wisata alam, dan taman buru. Untuk pemerintah Provinsi dan pemerintah kabupaten/kota kewenangannya adalah pertimbangan teknis, pengesahan rencana pengelolaan jangka panjang, jangka menengah, dan jangka pendek untuk cagar alam, suaka marga satwa, Taman Nasional, Taman Wisata alam, dan taman buru.

Dari ketentuan tersebut dapat dipahami bahwa kewenangan terhadap taman wisata alam secara luas berada di tangan pemerintah (pusat), sedangkan daerah hanya berperan dalam bidang teknis dan pertimbangan. Dalam hal perizinan pemerintah pusat juga memiliki kewenangan yang sangat luas. Berbicara mengenai aspek perizinan tentu berhubungan dengan pihak ketiga, dalam hal ini pihak ketiga pengelola kawasan taman wisata alam. Kewenangan atas perizinan secara luas berada ditangan pemerintah yang diwakili oleh menteri kehutanan sebagai pimpinan departemen kehutanan.

Ketentuan yang mengatur secara langsung mengenai izin pengelolaan taman wisata alam adalah Peraturan Pemerintah Nomor 18 tahun 1994 tentang pengusahaan pariwisata alam di zona pemanfaatan Taman nasional, Taman hutan raya, dan taman wisata alam. Ketentuan tersebut mengatakan bahwa menteri yang bertanggung jawab adalam menteri di bidang kehutanan, yaitu menteri kehutanan. Selanjutnya dikatakan bahwa izin pengusahaan pariwisata alam diberikan oleh menteri kehutanan setelah mendapat pertimbangan dari menteri bidang kepariwisataan, dan gubernur kepala daerah yang bersangkutan. Peran dari pemerintah daerah provinsi hanya sebatas memberikan pertimbangan dan rekomendasi kepada pemerintah atau dalam hal ini adalah menteri kehutanan.

Mekanisme perizinan melalui menteri kehutanan memberikan kesempatan kepada pihak ketiga untuk melakukan pengelolaan terhadap taman wisata alam, konsekwensi dari mekanisme perizinan ini adalah minimnya peran dari pemerintah daerah dalam hal pengelolaan terhadap taman wisata alam termasuk dalam pengelolaan oleh pihak ketiga. Ketentuan PP nomor 18 ini mengatur mengenai pengelolaan oleh pihak ketiga yang menyebutkan bahwa penyelenggara pengusahaan pariwisata alam dapat dilakukan oleh Koperasi, Badan Usaha Milik Negara, Perusahaan swasta dan perorangan.


Peran BKSDA

Mekanisme perizinan melalui menteri kehutanan yang memberikan kesempatan kepada pihak ketiga untuk melakukan pengelolaan terhadap taman wisata alam, memiliki konsekwensi berupa minimnya peran dari pemerintah daerah dalam hal pengelolaan terhadap taman wisata alam termasuk dalam pengelolaan oleh pihak ketiga. Kembali kepada istilah kawasan pelestarian hutan, maka terkait dengan taman wisata alam yang dapat dikatakan “menjual” kawasan pelestarian hutan atau dengan kata lain kawasan konservasi sumber daya alam sebagai objek pariwisata. Menteri kehutanan melalui Surat Menteri Kehutanan Nomor 6187 Tahun 2002 menegaskan bahwa Balai Konservasi Sumber Daya alam (BKSDA) merupakan pelaksana teknis dari konservasi sumber daya alam dan lingkungan.

Sebagai pengelola kawasan BKSDA memiliki kewenangan yang sangat besar dan menentukan terhadap keberhasilan dari pengelolaan taman wisata alam. Mudahnya dapat dipahami bahwa jika pengelolaan BKSDA terhadap kawasan kurang baik sehingga menyebabkan sumber daya alam menjadi rusak, maka sektor pariwisata akan hancur, karena objek yang ditawarkan menjadi hilang. Disini barangkali perlu diatur bagaimana mekanisme control atau pengawasan dari masyarakat terhadap pengelolaan kawasan pelestarian dan kegiatan pengelolaa (Koperasi, Badan Usaha Milik Negara, Perusahaan swasta dan perorangan.) agar tidak terjadi salah mendemo dalam pengelolaan taman wisata alam. Satu hal yang patut pula diperhatikan adalah bahwa pihak pengelola tidak diperkenankan mengeruk keuntungan hanya untuk kepentingan komersial saja. Keuntungan dalam pengelolaan suatu taman wisata alam, seperti TWA tangkubanperahu, harus dikembalikan sepenuhnya untuk pengelolaan dan pelestarian kawasan tersebut. Begitulah sepatutnya.

L I A N D A dan Husni Husnayan

Komunitas RUANG PUBLIK. NGO for Independent Research and Community Development